BOVEN DIGUL: KOTA PEMERINTAHAN DAN KAMP INTERNIR PADA MASA KOLONIAL

1. Pengantar

Boven Digul adalah suatu tempat yang terletak di hulu Sungai Digul, di bagian selatan Papua, yang sekarang merupakan wilayah Kabupaten Boven Digul, Provinsi Papua. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Boven Digul merupakan suatu onderafdeeling yang dinamakan Onderafdeeling Boven Digul dengan ibukota Tanah Merah. Onderafdeeling Boven Digul dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 10 Desember 1926 dan Lembaran Negara Tahun 1926 Nomor 529. Pendirian Tanah Merah sebagai ibukota Onderafdeeling Boven Digul berlangsung pada 27 Januari 1927, yang ditandai dengan kehadiran kesatuan militer Belanda di Tanah Merah di daerah itu.[1]

Pembentukan Onderafdeeling Boven Digul bertalian dengan kebijakan politik pemerintah kolonial Belanda tentang hukuman internering (pembuangan) bagi orang yang dianggap sebagai pemberontak. I.F.M. Chalid Salim menyebut Boven Digul sebagai kamp interniran. Tulisan ini membahas tentang penegakan pemerintahan kolonial Belanda di Onderafdeeling Boven Digul dan penempatan para tawanan politik di Boven Digul serta dampak kebijakan pemerintah kolonial Belanda tersebut. Oleh karena itu, penulis memberi judul makalah ini “Boven Digul: Kota Pemerintahan dan Kamp Internir pada Masa Kolonial”.

2. Penegakan Kekuasaan Belanda di Nieuw Guinea

Pada 1898 Pemerintah Kolonial Belanda menegakkan kekuasaannya di Nieuw Guinea bagian barat. Wilayah itu dibagi menjadi dua afdeeling[2] yaitu Afdeeling Nieuw Guinea Utara dan Afdeeling Nieuw Guinea Barat dan Selatan. Kedua afdeeling itu menjadi bagian dari Karesidenan Ternate.[3] Pembagian wilayah itu dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan dan kualitas kehadiran Negara kolonial di wilayah itu.

Meskipun Belanda berupaya meningkatkan efektivitas pemerintahannya di wilayah itu, keamanan dan ketertiban masih sulit ditegakkan. Di wilayah Nieuw Guinea Selatan terutama di perbatasan antara wilayah kekuasaan Belanda dan Inggris, Suku Tugeri (Marind-Anim atau orang Marind) di daerah Merauke melakukan pengayauan dan perompakan ke daerah kekuasaan Inggris. Untuk menertibkan Suku Tugeri, pemerintah kolonial Belanda membuka pos pemerintahannya di Nieuw Guinea Selatan. Oleh karena itu, pada 18 Juni 1901 Afdeeling Nieuw Guinea Barat dan Selatan dimekarkan menjadi dua bagian yaitu Afdeeling Nieuw Guinea Barat dan Afdeeling Nieuw Guinea Selatan.[4]

Ketika pemerintah kolonial menegakkan pemerintahannya di Afdeeling Nieuw Guinea Selatan, para aparat pemerintah yang ditempatkan di wilayah itu ditugaskan untuk memperluas pengaruh pemerintah kolonial atas penduduk yang bermukim di wilayah itu. Pada masa pemerintahan Asisten Residen sPlate diadakan perluasan wilayah pemerintahan di daerah Nieuw Guinea Selatan, yang ditandai dengan penempatan seorang gezaghebber di daerah Okaba dan seorang asisten pemerintahan (bestuursassistent) di daerah Kumbe pada 1913.[5] Selain itu, Plate mengangkat kepala kampung yang bertugas sebagai penghubung antara pemerintah dengan penduduk lokal. Kepala kampung diangkat berdasarkan atas pilihan oleh penduduknya sendiri.[6] Dengan sistem pengangkatan itu diharapkan para kepala kampung itu dapat membantu pemerintah untuk menegakkan keamanan dan ketertiban penduduk di masing-masing kampung.

Plate menjalankan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kas daerah melalui pemungutan pajak dan membuka wilayah kekuasaannya untuk perburuan burung. Pada awalnya penduduk lokal membayar pajaknya dalam bentuk penyerahan hasil bumi (kelapa), namun dalam perkembangan selanjutnya beberapa orang membayar pajaknya dalam bentuk uang.[7] Pembayaran pajak dengan uang merupakan bukti bahwa penduduk lokal mulai memahami sistem keuangan pemerintah kolonial.

Plate bukan hanya menuntut kewajiban penduduk di daerah pemerintahannya, tetapi juga membuka beberapa jalan yaitu dari Merauke ke Kampung Urum, dari kampung Bahur ke Biruk, dari kampung Kumbe ke Sungai Meliu, dan dari Kumbe ke kampung Sarore.[8] Pembangunan beberapa ruas jalan itu dimaksudkan untuk memudahkan pemerintah mengawasi tindak-tanduk penduduk dan memudahkan penduduk untuk menjual hasil buminya ke pasar Merauke. Plate juga mengusulkan beberapa program perbaikan kondisi umum penduduk lokal yaitu: memberantas pemenggalan kepala dan perampokan manusia, memberantas pembalasan dendam dan semua tindak kejahatan lainnya, mensosialisasikan pemakaian busana, menghapus sistem pertukaran barang, mensosialisasikan penggunaan mata uang pemerintah, memperbaiki rumah penduduk lokal, mengajukan pengobatan penyakit kelamin yang diderita penduduk lokal.[9]

Penduduk lokal banyak yang menderita penyakit kelamin karena pelaksanaan adat di wilayah itu, misalnya pada saat pesta pernikahan mempelai wanita harus melakukan hubungan seksual dengan para lelaki dari klen wanita. Plate khawatir atas terjadinya kepunahan penduduk lokal bila pengobatan tidak dilakukan oleh pemerintah. Untuk mencegah kepunahan penduduk lokal, Plate mendukung upaya para misionaris untuk mendirikan kampung-kampung percontohan di Merauke dan Okaba. Penduduk lokal yang bermukim di kampung-kampung percontohan itu menempati satu rumah untuk satu keluarga. Dukungan Plate itu didasarkan pada keyakinannya bahwa selama pria dan wanita tinggal terpisah di rumah yang berbeda, selama itu pula tidak ada perbaikan kondisi kehidupan penduduk lokal di wilayah itu. Plate juga membongkar rumah pria dan pemuda karena rumah-rumah tersebut merupakan tempat para anak laki-laki yang memasuki masa akil balik melakukan hubungan homoseksual dengan sesamanya atau ayah pelindungnya.[10]

Untuk memberantas penyakit kelamin di kalangan penduduk lokal pengganti Plate, Asisten Residen L. Berkhout (menjabat asisten residen Afdeeling Nieuw Guinea Selatan dari 15 Oktober 1915 hingga 26 Januari 1918) mengusulkan beberapa tindakan sebagai berikut: melakukan pemeriksaan kesehatan semua penduduk dan semua orang yang pergi ke pedalaman di rumah sakit, menghukum pasien yang menolak untuk dirawat, mengharuskan penduduk lokal tinggal di rumah bersama keluarganya, memerintahkan penduduk yang sehat agar tinggal di kampung terpisah, memajukan perkawinan para pemuda, menjatuhkan hukuman kerja paksa selama 3 bulan kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran atas wanita muda di hari pernikahannya, dan melarang pendirian dan pengelolaan rumah bordil.[11] Selain itu, pemerintah mewajibkan pemburu burung untuk memeriksakan kesehatan kelaminnya sebelum mendapat izin untuk melakukan perburuan burung. Apabila terbukti para pemburu burung itu menjadi sumber penyakit menular di kalangan penduduk lokal di pedalaman, pemerintah menghentikan pemberian izin kepada pemburu burung tersebut. Pemerintah juga memberlakukan masa waktu yang singkat atas izin perburuan. Jika masa waktu surat ijin telah usai, pemegang surat izin tersebut harus kembali memeriksakan kesehatan kelaminnya untuk memperoleh surat izin baru. Selain tindakan tersebut, pemerintah juga menugaskan seorang dokter ahli penyakit kelamin, Dr. N. Cnopius di Afdeeling Nieuw Guinea Selatan.[12] Pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut membuktikan keseriusan pemerintah kolonial untuk memberantas penyakit kelamin di kalangan penduduk lokal Nieuw Guinea Selatan dan mengayomi penduduk lokal dari kepunahan.

 3. Pembangunan Onderafdeeling Boven Digul

Pengganti Asisten Residen L. Berkhout yaitu Asisten Residen H.M. Lublink Weddik melanjutkan karya penyelamatan penduduk lokal wilayah Nieuw Guinea Selatan dari kepunahan akibat penyakit kelamin. H.M. Lublink Weddik menjabat asisten residen di Afdeeling Nieuw Guinea Selatan dari 26 Januari 1918 hingga 20 Mei 1922. Dalam rangka pelaksanaan karya penyelamatan itu, H.M. Lublink Weddik memperluas pengaruh pemerintah kolonial di wilayah ini dengan membuka dua pos pemerintahan baru yaitu di Merauke Hulu dan Boven Digul, hulu Sungai Digul pada 1918. Pembukaan kedua pos itu menyebabkan hubungan pemerintah dengan penduduk lokal di sepanjang Sungai Digul, Mappi, Bian, Kumbe dan Merauke semakin terbuka. Selain itu, pembukaan pos pemerintahan di hulu Sungai Digul menjadi pendorong bagi para pedagang dan pemburu burung memasuki wilayah itu.[13]

Pada Mei 1918, 20 kapal motor yang dimiliki sejumlah pedagang di Merauke bersama 405 orang pemburu burung berangkat ke Sungai Digul untuk berburu. Ketika mereka melakukan pemburuan burung di daerah pedalaman Sungai Digul, penduduk lokal menyerang mereka pada Juni 1918. Para penyerang itu berhasil merampas 3 senapan dan 200 peluru. Serangan penduduk lokal itu menyebabkan seorang pemburu terbunuh di tempat kejadian, empat orang terluka berat dan seorang mengalami luka ringan. Dalam perjalanan pulang 3 orang dari 4 orang yang terluka berat itu meninggal di atas kapal. Kurangnya sarana penghubung menyebabkan pemerintah tidak dapat bertindak cepat terhadap para terdakwa. Dua bulan setelah penyerangan itu, Brigade Polisi Bersenjata dikirim untuk menyelidiki peristiwa itu.[14] Keterlambatan penyelidikan itu mengakibatkan hasil penyelidikannya tidak maksimal.

Pemerintah secara berkelanjutan berupaya memperluas daerah pengaruhnya di Nieuw Guinea Selatan. Oleh karena itu, para pejabat pemerintah bersama polisi bersenjata yang bertugas di daerah itu melakukan perjalanan dinasnya (turne) ke daerah secara rutin. Perjalanan dinas tersebut dimaksudkan untuk menyelidiki permasalahan yang terjadi di wilayah itu. Dari hasil penyelidikan itu diketahui bahwa banyak penduduk lokal yang menderita penyakit kelamin. Hasil penyelidikan itu dilaporkan kepada pemerintah di Batavia. Pemerintah di Batavia menanggapi laporan itu dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Jenderal pada 17 April 1920 Nomor 2. Dalam keputusan itu ditetapkan bahwa usaha penyelamatan penduduk Nieuw Guiena Selatan diserahkan kepada para misionaris Katolik yang bertugas di daerah itu dan dalam menjalankan tugasnya itu para missionaris mendapat bantuan dari pemerintah.[15]

Pada 1926 pemerintah Hindia Belanda kembali melakukan pembaharuan pemerintahan di Nieuw Guinea. Pembaharuan pemerintahan dilakukan dengan menetapkan daerah aliran hulu Sungai Digul di Onderafdeeling Nieuw Guinea Selatan (Karesidenan Amboina) menjadi onderafdeeling tersendiri yang dinamakan Onderafdeeling Boven Digul. Berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal 10 Desember 1926 Nomor 2x Onderafdeeling Boven Digul didirikan dan dimasukkan menjadi bagian dari Karesidenan Ambon. Onderafdeeling Boven Digul ditempatkan di bawah kekuasaan seorang gezaghebber yang bertugas sebagai kontrolir. Kepala onderafdeeling ini berkedudukan di Tanah Merah.[16] Onderafdeeling ini ditempatkan di bawah kekuasaan seorang perwira angkatan darat dengan jabatan gezaghebber. Pejabat pemerintah ini diberi gaji sebesar f 100 per bulan di luar tunjangan militernya.[17] Pengangkatan seorang perwira angkatan darat untuk menjabat kepala pemerintahan Onderafdeeling Boven Digul berkaitan dengan kondisi daerah itu yang membutuhkan seorang pemimpin yang mampu menegakkan keamanan dan ketertiban.

Peningkatan status pos pemerintahan di Boven Digul menjadi sebuah onderafdeeling yang dinamakan Onderafdeeling Boven Digul berkaitan dengan penahanan tawanan politik dalam jumlah yang banyak oleh Pemerintah Hindia Belanda. Ibukota onderafdeeling ini adalah Tanah Merah yang terletak di tepi aliran Sungai Digul.[18] Tanah Merah dan lingkungan sekitarnya dipilih oleh pemerintah kolonial sebagai lokasi penahanan tawanan politik. Pembukaan Tanah Merah sebagai ibukota Onderafdeeling Boven Digul berlangsung pada 27 Januari 1927, yang ditandai dengan kehadiran empat brigade infanteri dan satu brigade zeni di Tanah Merah. Tanah Merah terletak pada jarak 465 Km dari muara Sungai Digul dan 230 Km dari pantai. Sebelum dijadikan lokasi penahanan tawanan politik, Tanah Merah merupakan hutan rimba yang diselingi dengan hutan sagu, yang menciptakan kesan yang menyeramkan.[19]

Pendirian Onderafdeeling Boven Digul diikuti dengan pembukaan sekolah Katolik di daerah ini. Sekolah katolik yang dibuka di onderafdeeling ini berada di kampung Gatote, Mandung, Digul dan Dinah.[20] Hal ini membuktikan bahwa pembukaan pos pemerintahan di Nieuw Guinea Selatan selalu diikuti dengan pembukaan sekolah-sekolah rakyat. Pelayanan pemerintah di bidang pendidikan merupakan wujud kehadiran Negara kolonial di tengah masyarakat NNG.

Penduduk lokal yang bermukim di aliran kanan Sungai Digul adalah orang-orang Mappi. Penduduk yang bermukim di aliran kiri Sungai Digul terdiri atas orang-orang Papua Mandobo, Auyu dan Muyu. Penduduk Mappi bersifat nomaden. Mereka selalu berupaya untuk menemukan daerah yang ditumbuhi pohon sagu. Orang Muyu menanam pohon sagu di sekitar tempat tinggalnya. Sagu merupakan makanan pokok orang Muyu sehingga sagu menjadi tanaman utamanya. Tanaman lainnya adalah pisang, ubi, tebu, Cabai dan papaya. Cabai dan papaya banyak ditemukan di daerah orang Muyu. [21] Dari jenis-jenis tanaman orang Muyu tersebut diketahui bahwa makanan mereka telah bervariasi.

Penduduk lokal yang bermukim di aliran Sungai Digul menerapkan pembagian kerja antara wanita dan pria. Para wanita bertugas untuk mengolah sagu, menyiapkan makanan, mengasuh anak, mencari kayu bakar, mengumpulkan hasil hutan, dan memelihara ternak (babi dan anjing). Sedangkan para pria mengerjakan tugas yang lebih berat seperti menebang pohon, membangun dan memperbaiki rumah, membuat perahu, melakukan perburuan, dan menangkap ikan, serta melakukan perjalanan pengayauan.[22]

Penduduk lokal membangun rumah panggung yang tingginya 10 meter dari atas permukaan tanah. Rumah dibangun diatas tonggak-tonggak kayu yang kuat. Dalam rumah tersebut terdapat ruang kaum laki-laki dan ruang kaum perempuan yang saling terpisah. Tungku perapian terdapat pada setiap ruang dalam rumah itu. Kaum wanita tidak diperkenankan memasuki ruang kaum pria. Mereka berpendapat bahwa kehadiran kaum wanita di ruang kaum pria akan menodai kebersihan ruang kaum pria tersebut. Hubungan suami isteri tidak berlangsung dalam rumah, melainkan di hutan. Hal ini disebabkan dalam sebuah rumah didiami oleh beberapa keluarga. Rumah yang dibangun biasanya hanya ditempati untuk beberapa tahun saja. Setelah itu rumah yang lama tersebut dirobohkan. Di daerah Muyu, penduduknya membangun rumah baru di dekat rumah yang lama. Sedangkan di daerah Mappi dan Digul, sebagian besar penduduknya membangun rumah di lokasi yang baru, di tempat yang banyak ditumbuhi sagu. Syarat utama pemilihan lokasi pemukiman bagi orang Mappi dan Digul adalah tersedianya tanaman sagu, karena sagu merupakan makanan pokok mereka. Oleh karena itu, pemukiman mereka pada umumnya terletak di sekitar aliran sungai, tempat ditemukannya pohon sagu. Masing-masing keluarga memiliki hak atas tanah yang diolahnya, termasuk lahan pohon sagu dan tanaman lainnya di sekitar rumahnya dan di dusun-dusun sagu yang dibukanya. Penduduk lokal membagi tempat pemukiman yang dibatasi oleh anak-anak sungai dari aliran utama sungai itu. Mereka membagi tanah dengan memperhatikan agar masing-masing keluarga menguasai tanah yang terletak di aliran hulu sungai.[23] Hal ini berarti pada saat itu orang Mappi dan Digul masih hidup nomaden, sedangkan orang Muyu sudah hidup secara menetap.

Pada 1934 Onderafdeeling Boven Digul dan Onderafdeeling Nieuw Guinea Selatan ditempatkan di bawah Afdeeling Tual. Wilayah Afdeeling Tual yang terlalu kecil menjadi alasan penyatuan kedua onderafdeeling itu ke wilayah Afdeeling Tual. Selain itu, kontak yang baik telah terjalin antara missi Ordo Hati Kudus yang berkarya di kedua onderafdeeling itu dengan Vikariat Apostolik yang tinggal di Tual. Demikian juga asisten residen Tual mempunyai hubungan yang baik dengan Vikariat Apostolik di Tual. Menurut Residen Maluku, B.J. Haga bahwa pembagian administratif wilayah pemerintahan tersebut adalah yang terbaik sehubungan dengan kontak yang lebih baik dengan missi.[24] Pemerintah menyadari peran para missionaris dalam membantu pemerintah untuk melayani penduduk Nieuw Guinea Selatan. Oleh karena itu, pemerintah berupaya menjalin hubungan yang baik dengan para missionaris yang berkarya di daerah itu. Hal ini berarti bahwa pembagian wilayah pemerintahan di NNG juga didasarkan pada aspek budaya (mayoritas penduduknya beragama Katolik) dan hubungan baik antara pemerintah dan missionaris yang berkarya di wilayah itu.

4. Kehadiran Para Tawanan Politik di Boven Digul

Pada 1927, para tawanan pertama tiba di Boven Digul. Para tawanan itu ditempatkan di dua lokasi yang berbeda yaitu di kamp interniran pertama, Tanah Merah dan kamp interniran kedua, Tanah Tinggi. Para tawanan yang termasuk kategori pengikut dalam aksi melawan pemerintah ditampung di Tanah Merah. Penahanan di Tanah Merah dimaksudkan untuk memberikan hukuman jera yang menyelamatkan para tawanan dari kesalahan baru. Rumah para tawanan di Tanah Merah berjumlah 602 buah dengan jumlah penghuninya kira-kira 2000 jiwa. Rumah-rumah para tawanan itu terawat baik, semuanya tertutup dengan atap besi. Pekarangannya ditanami dngan rapi, jalan-jalan terawat dengan baik, yang dilengkapi dengan penerangan listrik di sepanjang jalan-jalan kampung. Fasilitas lainnya yang tersedia di Tanah Merah adalah dua sekolah, sebuah rumah sakit, sebuah jaringan telepon, dan sebuah gedung bioskop sederhana. Penghuni kamp interniran Tanah Merah menunjukkan sikap yang tenang dan sopan. Pada umumnya orang yang mengunjungi mereka akan berpendapat bahwa mereka tidak berada di tengah para perusuh dan musuh pemerintah yang berbahaya, sehingga tidak perlu mempersenjatai diri untuk mengunjungi kamp tersebut. Penghuni kamp itu hanya beberapa orang saja yang menunjukkan sikap penolakan terhadap orang Eropa. Meskipun para tawanan merupakan bagian dari kelompok yang sama, dihukum karena kenyataan yang sama, dan memiliki idealisme yang sama, gejala perpecahan dalam masyarakat kecil itu tidak dapat dihindarkan. Dalam masyarakat itu terdapat kelompok yang terbagi secara rasial. Ada kelompok yang melancarkan teror terhadap kelompok lain, ada yang bersifat lemah dan selalu terancam, dan ada juga yang tinggi hati. Kenyataaannya hanya sedikit prinsip persamaan yang dianut. Orang-orang Sumatera (terutama orang Minangkabau) merupakan kelompok yang paling banyak menyendiri dan memandang rendah kelompok lain. Orang Jawa dan orang Sunda saling berdampingan tetapi orang jawa lebih banyak penganut prinsip dibandingkan dengan orang-orang dari Priangan. Orang-orang Sunda cenderung mau bekerja sama dengan pemerintah. Sebaliknya orang-orang Banten lebih memegang prinsip dan menunjukkan sikap penolakan terhadap orang-orang Barat yang dianggapnya kafir. Kurangnya kesamaan pandangan di antara penghuni kamp itu menyebabkan organisasi yang dibentuk mereka tidak pernah berumur panjang. Sedangkan para tawanan yang ditahan di Tanah Tinggi adalah mereka yang mempunyai mentalitas keras kepala. Rumah para tawanan di Tanah Tinggi berjumlah 43 buah dengan jumlah penghuninya 115 orang, termasuk 70 orang tawanan dan 45 orang anggota keluarganya. Rumah para tawanan itu dibangun di lokasi yang dipilih oleh para tawanan dan terletak saling berjauhan di hutan rimba, dikelilingi oleh pekarangan yang kurang terawat. Para tawanan menolak membangun jalan, sehingga penghuni Tanah Tinggi tidak memungkinkan untuk saling mengunjungi di waktu petang. Penghuni Tanah Tinggi hanya berhubungan dengan pemerintah saat pembagian ransum kebutuhan hidupnya dua kali per minggu. Di luar pembagian ransum, kunjungan wakil pemerintah ke Tanah Tinggi tidak diperdulikan oleh para tawanan tersebut. Ketika P.W. Hillen mengunjungi Tanah Tinggi tak seorang pun dari penghuni kamp interniran Tanah Tinggi yang datang untuk menyampaikan keluhannya. Mereka tetap bekerja di rumah atau di kebun. Oleh karena itu, P.W. Hillen menyampaikan penilaiannya bahwa Penghuni Tanah Tinggi untuk sementara belum dapat dipertimbangkan untuk kembali kepada masyarakatnya. Pemerintah Kolonial Belanda melakukan pengelompokan atas para tawanan itu. Para tawanan di Tanah Merah dikelompokkan sebagai berikut: [25]

  • pegawai,
  • buruh upah harian,
  • tahanan alami,
  • Penghuni Tanah Tinggi
  • Pencari Kerja Mandiri
  • Orang cacat

Para pegawai adalah orang yang menerima gaji bulanan tetap, karena itu ia menjalankan tugas pokoknya, seperti agen polisi, pengelola motor, pegawai telepon, guru dan sebagainya. Buruh upah harian adalah orang yang bekerja bagi pemerintah dengan upah f 1 per hari. Mereka pada umumnya bekerja di bidang pertanian. Pemerintah wajib menyediakan pekerjaan kepada mereka yang mau bekerja dengan upah harian. Namun, mereka tidak bisa bekerja upahan setiap harinya, karena mereka harus menyediakan waktu untuk merawat rumah dan pekarangannya. Oleh karena itu, pada umumnya mereka hanya mampu memperoleh upah sejumlah f 20. Para tahanan alami adalah para tahanan di Boven Digul yang menolak untuk bekerja. Pemerintah wajib memberikan ransum makanan senilai f 12 setiap bulan. Ransum makanan biasanya dibagikan dua kali per minggu. Para pencari kerja mandiri adalah orang yang menjalankan suatu pekerjaan atau mengelola perdagangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka tidak menerima bantuan atau hanya menerima sedikit sekali bantuan dari pemerintah. Orang cacat adalah orang yang menurut pemeriksaan dokter tidak lagi mampu untuk bekerja. Pemerintah memberi tunjangan kepada mereka sebesar f 20 per bulan. Jumlah masing-masing berbagai kelompok itu selalu berubah-ubah. Pada awal Juni 1930 jumlah masing masing kelompok tersebut sebagai berikut:[26]

  • Pekerja berjumlah 110 orang
  • Pegawai upah harian berjumlah 380 orang
  • Tahanan alami berjumlah 225 orang
  • Penghuni Tanah Tinggi berjumlah 70 orang
  • Pencari kerja mandiri berjumlah 350 orang
  • Orang cacat berjumlah 40 orang.

Pengelompokan para tawanan itu sangat penting bagi pemerintah kolonial untuk menilai mentalitas para tawanan tersebut. Menurut penilaian W.P. Hillen seorang anggota Dewan Hindia Belanda yang telah melakukan interogasi kepada para tawanan itu bahwa pada umumnya para pegawai yang bersedia untuk bekerja setiap hari telah menyadari kesalahan sebelumnya dan telah berpandangan baik terhadap pemerintah. Demikian juga halnya dengan pekerja upah harian, pencari kerja mandiri, dan orang cacat telah menyadari kesalahan sebelumnya dan telah berpandangan baik kepada pemerintah. Berbeda halnya dengan para tahanan alami dan penghuni tanah tinggi sama sekali mentalitasnya tidak berubah. Kelompok yang telah keinginan dan berpandangan baik terhadap pemerintah bisa menambah peluang pencabutan penawanan mereka.[27]

Pada awalnya P.W. Hillen berpendapat bahwa semua tawanan politik di Boven Digul adalah bagian dari PKI dan ormasnya. Namun, setelah Hillen melakukan interogasi terhadap para tawanan itu, ia berpendapat bahwa banyak para tawanan di Tanah Merah itu, yang tidak mengetahui dan tidak memperdulikan apa itu komunisme dan hanya memiliki pengetahuann yang kabur tentang keberadaan PKI, tujuan dan makna aksi perlawanan PKI pada 1927-1927, dan kurang memahami apa yang diinginkan oleh PKI. Berdasarkan hasil interogasinya terhadap para tawanan itu, P.W. Hillen menyimpulkan bahwa 412 orang dari 610 orang yang diinterogasi dapat dibebaskan kembali. Lebih lanjut P.W. Hillen menjelaskan bahwa dalam kondisi darurat pemerintah wilayah asal para tawanan itu sangat sulit untuk mempertimbangkan orang-orang yang diusulkan untuk ditahan karena keterlibatannya dalam aksi perlawanan PKI tersebut.[28]

Kehadiran para tawanan politik itu telah menimbulkan masalah baru bagi pemerintah Nieuw Guinea Selatan. Para tawanan itu ditempatkan di dusun-dusun sagu orang-orang Bian. Opas De Keyzer ditunjuk untuk memimpin para tawanan itu. Kehadiran para tawanan ini menjadi ancaman untuk orang-orang Bian karena para tawanan itu dianggap telah menjarah dusun-dusun sagu orang-orang Bian dan menembaki hewan-hewan di hutan tempat perburuan orang-orang Bian (Baal, 1939: 348). Kehadiran para tawanan politik itu menyebabkan orang-orang Bian kehilangan sumber pencahariannya atau setidaknya mengurangi sumber penghidupannya. Hal inilah yang memicu konflik antara orang-orang Bian dan tawanan politik itu.

5. Dampak Kebijakan Kebijakan Pemerintah Kolonial

Kehadiran pemerintah kolonial, para misionaris di Onderafdeeling Boven Digul menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial di wilayah itu. Perubahan struktur sosial itu terbukti dengan adanya pelapisan sosial baru yaitu Eropa/Indo-Eropa, Cina, Asia lainnya (Indonesia) dan penduduk lokal. Sementara di kampung-kampung ditemukan kelompok-kelompok sosial baru yang didasarkan pada perannya di bidang keagamaan (guru missi, pastor, penginjil, suster, bruder) dan di bidang pemerintahan (kepala kampung). Berdasarkan sensus 1930, penduduk wilayah Nieuw Guinea Selatan berjumlah 19.116 orang. Persebaran penduduk berdasarkan suku bangsa dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel Keadaan Penduduk Wilayah Nieuw Guinea Selatan pada 1930

No Ondeafdeeling Pribumi Eropa/Indo Cina Asia Lainnya Jumlah
1 Boven Digul 2.686 51 30 3 2.770
2 Nieuw Guinea Selatan 15.817 75 420 34 16.346
Jumlah 18.503 136 450 64 19.116

(telah diolah kembali dari Volkstelling, 1936: 124)

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa pribumi (penduduk lokal) menempati posisi mayoritas, urutan kedua orang Cina, berikutnya orang Eropa/Indo dan urutan terakhir adalah Asia lainnya (Indonesia). Penduduk lokal hampir seluruhnya tergantung pada hasil-hasil dari tanaman sagu dan kelapa. Sagu dan kelapa tumbuh dalam jumlah yang memadai di semua kampung-kampung yang berada di sekitar pantai. Penduduk pedalaman menanam pisang dan ubi sebagai makanan tambahannya. Penduduk lokal beternak babi, tetapi belum sampai pada usaha pembiakan. Hasil ternak babi itu biasanya digunakan untuk keperluan pesta adat. Para Eropa/Indo pada umumnya bekerja sebagai pejabat dan pemerintah kolonial, pedagang, dan misionaris. Sementara orang Cina dan orang Asia lainnya pada umumnya bekerja sebagai pedagang dan pemburu burung.[29]

Sementara itu, penegakan pemerintah kolonial dan kehadiran para misionaris menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial di wilayah itu. Perubahan struktur sosial ditandai dengan adanya pelapisan sosial baru baik di kota maupun di kampung. Penegakan pemerintahan kolonial Belanda berdampak pada penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan dan bahasa pengantar baik di gereja mapun di sekolah-sekolah yang dikelola missi Katolik dan Pemerintah. Bahasa Melayu merupakan satu-satunya bahasa pergaulan untuk pemerintah dan zending dengan penduduk Papua.[30] Pada umumnya di sekolah-sekolah rakyat, sekolah desa dan sekolah peradaban tidak digunakan bahasa daerah. Hal ini disebabkan ketidaktersedian buku pelajaran dalam bahasa daerah dan banyaknya jumlah bahasa daerah di wilayah itu, sehingga tidak memungkinkan untuk menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah. Kondisi yang demikian menyebabkan Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pengantar di semua sekolah dan bahasa pergaulan di seluruh wilayah itu.[31] Selain itu, pada awalnya para guru yang mengajar di sekolah-sekolah tersebut pada umumnya berasal dari luar Nieuw Guinea (Ambon, Kei, Manado-Sanger).

Sebagian besar penduduk pribumi Nieuw Guinea Selatan umumnya, dan Boven Digul khususnya menganut agama Katolik. Hal ini disebabkan kebijakan Asisten Residen Kroesen yang mempercayakan karya penginjilan di wilayah itu kepada para misionaris. Para misionaris memulai karyanya pada 14 Agustus 1905 yang ditandai dengan kehadiran Pastor H. Nollen, Pastor P. Braun, Bruder Roessel dan Bruder Oomen di Merauke.[32] Para misionaris itu selain mengajarkan pelajaran agama dan etika juga pelajaran menulis, membaca dan berhitung. Pemberian pembelajaran bertujuan untuk mengarahkan para generasi muda untuk meninggalkan kebiasaan dan kepercayaan lama.[33] Para misionaris Katolik lebih memfokuskan kajiannya pada bahasa penduduk setempat yang dibutuhkan untuk menyampaikan ajaran Kristen dan peradaban kepada penduduk lokal.[34] Dengan demikian para misionaris bukan hanya menyebarkan ajaran agama tetapi juga mengubah cara hidup penduduk lokal Nieuw Guinea Selatan. Missi Katolik membuka sekolah-sekolah rakyat di wilayah itu dan menerima bantuan subsidi dari pemerintah.

Ketika pemerintah membuka pos pemerintahannya di wilayah itu, pemerintah membenahi jalur-jalur perhubungan melalui sungai. Sungai-sungai yang ada merupakan prasarana transportasi dan komunikasi dengan daerah-daerah yang terletak di pedalaman.[35] Pembangunan sarana dan prasarana transportasi itu memudahkan aparat pemerintah mengawasi penduduk dan melakukan inspeksi secara rutin ke wilayah kekuasaanya itu.

 DAFTAR PUSTAKA

 1. Arsip

ANRI. Besluit van Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, Tanggal 5 Februari 1898 Nomor 19.

ANRI. Besluit van Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, Tanggal 18 Juni 1901 Nomor 25.

ANRI. Besluit van Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, Tanggal 8 September 1901 Nomor 6.

ANRI. Besluit van Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, Tanggal 22 Desember 1901 Nomor 16.

ANRI. Besluit van Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, Tanggal 11 Maret 1902 Nomor 48.

ANRI, Memorie van Overgave van het Bestuur over de Afdeeling Zuid Nieuw Guinea, L.M.P. Plate, 15 Oktober 1915. Reel No. 38, MvO Serie 1e.

ANRI, Memorie van de Gezaghebber D.H. Fikkert, Oktober 1928-Januari 1933, Zuid Nieuw Guinea. Reel No. 38, MvO Serie 1e.

ANRI, Memorie van Overgave van den Controleur L. Wrede van Zuid Nieuw Guinea, 24 Maret 1933-9 Maret 1934, Reel No. 38, MvO Serie 1e.

ANRI, Memorie van Overgave van den W. Scheffer van de Onderafdeeling Zuid Nieuw Guinea Afdeeling Zuid Nieuw Guinea Residentie Nieuw Guinea, 10 Maret 1934-Juli 1935, Reel No. 38, MvO Serie 1e.

ANRI, Memorie van Overgave der Onderafdeeling Boven-Digoel door den fd. Gezaghebber Schollem, 1 Juli 1934, Reel No. 38, MvO Serie 1 e.

ANRI, Memorie van Overgave van het detachement te Tanah Merah Onderafdeeling Boven Digoel Controleur J.Wiarda, 2 Mei 1935-25 Mei 1938. Reel No. 38, MvO Serie 1e.

ANRI, Memorie van Overgave van den J. Van Baal Controleur van de Onderafdeeling Zuid Nieuw Guinea, 25 Juli 1938, Reel No. 38, MvO Serie 1e.

ANRI, Memorie van Overgave van de Onderafdeeling van Boven Digoel Controleur I B.B. C.H. Stefels, periode 18 Februari 1953- Januari 1955. Reel No. 38, MvO Serie 1e.

ANRI, Memorie van Overgave van Controleur I N.A. Nieland van der Onderafdeeling Boven-Digoel 23 Februari 1952-5 Februari 1953, Reel No. 38, Mvo Serie 1 e.

ANRI, Memorie van der Controleur I B.B. C.H. Stefels van Onderafdeeling Boven-Digoel 18 Februari 1953- Januari 1955, Reel No. 38, MvO Serie 1 e.

NA, Algemeen Rijksarchief Tweede Afdeeling Ministerie van Kolonien Kantoor Bevolkingszaken Hollandia Rapportenarchief NR: 397.

2. Sumber Resmi Tercetak

Koloniaal Verslag, Tahun 1926.

Koloniaal Verslag, Tahun 1927.

Koloniaal Verslag, Tahun 1928.

Koloniaal Verslag, Tahun 1929.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Nomor 220 Tahun 1895.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Nomor 221 Tahun 1895.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Nomor 62 Tahun 1898.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Nomor 239 Tahun 1901

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Nomor 63 Tahun 1902

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Nomor 64 Tahun 1902

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Nomor 65 Tahun 1902

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Nomor 66 Tahun 1902

Staatsblad van Nederlandsch-Indie Nomor 529 Tahun 1926

3. Artikel

Baal, J.van, “De Bevolking van Zuid-Nieuw-Guinea onder Nederlandsch Bestuur: 36 Jaaren”, Tijschrriff voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, LXXIX, 1939. 309-414.

Gelpke, Sollewijn J.H.F. “On The Origin of The Name Papua”, BKI, Jilid 149, 1993. 318-332.

Mansoben, Johszua Robert,2001, Arti Sebuah Nama: Papua, New Guinea, atau Irian Jaya, Makalah, Jayapura: Universitas Cenderawasih Jayapura.

Sinaga, Rosmaida dan Handono Kusumo, Sejarah Pembentukan Pemerintahan Hindia Belanda di Papua, dalam Jurnal Pendidikan Dan Pengajaran, Volume 3, Nomor 1, Februari 2005, Jayapura: FKIP Universitas Cenderawasih Jayapura.

4. Buku

Bone, Robert C. The Dynamics of The Western New Guinea (Irian Barat) Problem. Ithaca: Cornell University, 1958.

Boelaars, Jan. Manusia Irian Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1986.

Bone, Robert C. The Dynamics of The Western New Guinea (Irian Barat) Problem. Ithaca: Cornell Universty, 1958.

Campo, J.N.F.M. Kononklijke Paketvaart Maatschappij: Stoomvaart en Saatsvorming in de Indonesische Archipel 1888-1914. Hilversum: Uitgerij Verloren, 1992.

Erari, Karel Phil. Tanah Kita, Hidup Kita: Hubungan Manusia dan Tanah di Irian Jaya Sebagai Persoalan Teologis. Jakarta: Sinar Harapan, 1999.

Graaff, S. De en D.G. Stibbe. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie. tweede deel, ‘s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1918.

Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar. Penduduk Irian Barat. Jakarta: Penerbitan Universitas, 1963.

Leontine E. Visser dan Amapon Jos Marey. Bakti Pamongpraja Papua di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia. Jakarta: Kompas, 2008.

Mansoben, Johszua Roberrt. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta: LIPI-RUL, 1995.

Salim, I.M.F. Chalid. Lima Belas Tahun di Digul: Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea-Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Schoorl, PIM. Belanda di Irian Jaya: Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-1962. Jakarta: Garba Budaya, 2001.

Stibbe, D.G. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie derde deel. ‘s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1919.

Vriens, A. Sejarah Gereja Katolik Indonesia Wilayah-Wilayah Keuskupan dan Majelis Agung Indonesia Abad Ke-20 Sumatera, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Irian Jaya. Jakarta: Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Waligereja Indonesia, 1974.

GLOSARIUM

Afdeeling:                   Suatu wilayah yang diatur oleh Assistant Resident

Aspirant-Controleur:   pegawai, calon controleur

Assistentsbestuur:       pejabat sipil yang memimpin suatu pos pemerintahan di distrik

Assistant Resident: pejabat sipil, biasanya bertanggungjawab atas suatu wilayah afdeeling.

Commiezen:                petugas pajak

Controleur:                  kontrolir, jabatan dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda;   pejabat muda yang dalam dinas sipil mengurus inspeksi dan pengawasan.

Departemen:                Pelaksana roda pemerintahan. Departemen-departemen dalam pemerintahan Hindia Belanda adalah: Keuangan, Dalam Negeri (yang mengawasi korps pamong dan kepolisian), Pekerjaan Umum, Pendidikan, Agama dan Kerajinan, Kehakiman, Angkatan Darat, dan Amgkatan Laut.

Dewan Hindia:            suatu badan penasihat tingkat tinggi, yang terkenal dengan nama “Raad van Indie

Distrik:                        Setingkat kecamatan

Gezaghebber:              penguasa

Gubernur Jenderal:      kepala pemerintahan Hindia Belanda yang diangkat oleh Ratu/Raja Belanda atas usul dari Menteri Jajahan

Halifur (Alfur):           istilah yang digunakan oleh orang Belanda untuk menyebut penduduk pedalaman Nieuw Guinea yang belum beragama (Islam/Krisrten)

Oppasser:                    pengawas

Pousthouder:               pegawai rakyat Hindia timur yang memiliki kewenangan dari pemerintah kolonial di wilayah tanggung jawabnya.

Sekretaris Jenderal:     pelaksana tugas-tugas pemerintahan dalam urusan surat-menyurat, laporan-laporan, usul-usul untuk wawancara, perintah-perintah, dan usul-usul resmi yang ditujukan kepada atau dari Gubernur Jenderal.

Syahbandar:                pengawas administrasi dan perdagangan asing di pelabuhan

[1][1] ANRI, Staatsblad van Nederlandsch-Indie, No. 529, 1926. Lihat juga Aanvuling der Militaire Memorie van het Bewaking Detachement aan de Boven-Dogoel 31 Juli 1934, Bundel Ministerie van Kolonie, Kantoor Bevolkingszaken Hollandia, ARA no. 397.

[2] Afdeeling adalah suatu wilayah yang diatur oleh asisten residen.

[3] ANRI, Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, No. 19, 5 Februari 1898.; ANRI, Staatsblad van Nederlandsch-Indie, No. 62, 1898; Staatsblad van Nederlandsch-Indie , No. 142, 1898.

[4] ANRI, Besluit van Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, No. 25, 18 Juni 1901, Bundel Algemeene Secretarie.

[5] ANRI, Memorie van Overgave van het Bestuur over de Afdeeling Zuid Nieuw Guinea van L.M.P. Plate, 15 Oktober 1915, Reel No. 38, MvO Serie 1e, hal.10. Lihat Juga ANRI, Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1913, No. 415.

[6] ANRI, Memorie van Overgave van het Bestuur over de Afdeeling Zuid Nieuw Guinea, L.M.P. Plate, 15 Oktober 1915, Reel No. 38, MvO Serie 1e, hal. 10.

[7] ANRI, Memorie van Overgave van het Bestuur over de Afdeeling Zuid Nieuw Guinea, L.M.P. Plate, 15 Oktober 1915, Reel No. 38, MvO Serie 1e, hal. 11.

[8] ANRI, Memorie van Overgave van het Bestuur over de Afdeeling Zuid Nieuw Guinea, L.M.P. Plate, 15 Oktober 1915, Reel No. 38, MvO Serie 1e, hal. 3.

[9] ANRI, Memorie van Overgave van het Bestuur over de Afdeeling Zuid Nieuw Guinea, L.M.P. Plate, 15 Oktober 1915, Reel No. 38, MvO Serie 1e, hal. 12-3.

[10] ANRI, Memorie van Overgave van het Bertuur over de Afdeeling Zuid Nieuw Guinea , L.M.P. Plate, 15 Oktober 1915, Reel No. 38, MvO Serie 12, 15 Oktober 1915, hal.5- 6.

[11] ANRI, Laporan Asisten Residen L. Berkhout yang disampaikan kepada pemerintah lewat surat dari Direktur Pemerintahan tanggal, 3370/Btg, 4 April 1918, Bundel algemeene Secretarie.

[12] ANRI, Surat Inspektur Dinas Kesehatan Umum kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, No. 4031, 31 Maret 1920, Bundel Algemeene Secretarie.

[13] Perpustakaan Nasional, Koloniaal Verslag, 1999, hal. 75.

[14] Perpustakaan Nasional, Koloniaal Verslag, 1919, hal. 75. Lihat juga Koloniaal Verslag, 1920, hal. 125.

[15] ANRI, Besluit van de Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, No. 2, 17 April 1920, Bundel Algemeene Secretarie.

[16] ANRI, Staatsblad van Nederlandsch-Indie, No. 529, 1926. Lihat juga Aanvuling der Militaire Memorie van het Bewaking Detachement aan de Boven Digul 31 Juli 1934, Bundel Ministerie van Kolonie, Kantoor Bevolkingzaken Hollandia, ARA No. 397, hal. 1.

[17] ANRI, Uitreksel uit het Register der Besluiten van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, No. 2x, 10 Desember 1926, Bundel Binnenlandsch Bestuur, No. 241.

[18]Penduduk lokal menyebut Sungai Digul dengan Sungai Kiut. Sungai Digul merupakan sungai terbesar kedua di Nieuw Guinea setelah Sungai Mamberamo.

[19] NA, Aanvuling der Millitaire Memorie van het Bewaking Detachment aan de Boven Digul, Bundel Ministerie van Kolonie, Kantoor Bevolkingzaken Hollandia, ARA No. 397, hal. 1-2.

[20] ANRI, Memorie van de Gezaghebber D.H. Fikkert, Oktober 1928 – Januari 1933, Zuid Nieuw Guinea, Reel No. 38, MvO Serie 1e, hal. 18.

[21] NA, Aanvuling der Militaire Memorie van het Bewaking Detachement aan de Boven Digul 31 Juli 1934, Bundel Ministerie van Kolonie, Kantoor Bevolkingzaken Hollandia, ARA N0. 397, hal 14-5.

[22] NA, Aanvuling van der Militaire Memorie van het Bewaking Detachement aan de Boven Digul 31 Juli 1934, Bundel Ministerie van Kolonie, Kantoor Bevolkingzaken Hollandia, ARA No. 397, hal. 25-6.

[23] NA, Aanvuling van der Militaire Memorie van het Bewaking Detachment aan Boven Digul 31 Juli 1934, Bundel Ministerie van Kolonie, Kantoor Bevolkingzaken Hollandia, ARA No. 397, hal. 26-30.

[24] B.J. Haga, Memorie van Overgave van Bestuur van den Aftredenden Resident der Molukken, hal. 41.

[25] ANRI, Laporan Anggota Dewan Hindia Belanda W.P. Hillen kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tentang Kamp Internir di Boven Digul, Weltevreden, 22 Juli 1930, Bundel Algeemene Secretarie.

[26] ANRI, Laporan Anggota Dewan Hindia Belanda P.W. Hillen kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tentang Kamp Internir di Boven Digul, Weltevreden, 22 Juli 1930, Bundel Algeemene Secretarie.

[27] ANRI, Laporan Anggota Sewan Hindia Belanda P.W. Hillen kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tentang Kamp Internir Boven Digul, Weltevreden, 22 Juli 1930, Bundel Algeemene Secretarie.

[28] ANRI, Laporan Anggota Dewan Hindia Belanda P.W. Hillen kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tentang Kamp Internir Boven Digul, Weltevreden, 22 Juli 1930, Bundel Algeemene Secretarie.

[29] ANRI, Vervolg Memorie van den FD. Controleur van Zuid Nieuw Guinea L. Wreede over het Tijdvak 24 Maart 1933 tot 9 Maart 1934, Reel No. 38, MvO Serie 1e, hal 9-18)

[30] ANRI, Vervolg Memorie van Overgave van den Gediplomeerd Gezaghebber B.B. Gerrit de Lassaquere, Betrefende Onderafdeeling Jappen-Groep, 7 September 1932, Reel No. 40, MvO Serie 1e, hal. 11-2.

[31] J.C.C. Haar, “Aanvullende Memorie van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea, 1940”, J. Miedema dan W.A. L. Stokhof, Irian Jaya Source materials No. 6 Series A – No. 3: Memories van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea (Part II) (Leiden: DSACCUL/IRIS, 1993), hal. 140.

[32] A. Vriens, Sejarah Gereja Katolik Indonesia Wilayah-Wilayah Keuskupan dan Majelis Agung Indonesia Abad Ke-20 Sumatera, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Irian Jaya. Jakarta: Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Waligereja Indonesia, 1974), hal. 611-613.

[33] ANRI, Memorie van Overgave van het Bestuur Over de Afdeeling Zuid Nieuw Guinea L.M.P. Plate, 15 Oktober 1915, Reel No. 38, MvO Serie 1e, hal.6-7.

[34] J. van Baal, “De Bevolking van Zuid-Nieuw-Guinea onder Nederlandsch Bestuur: 36 Jaaren”, Tijschrriff voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, LXXIX, 1939. 309-414.

[35] ANRI, Memorie van Overgave van het Bestuur Over De Afdeeling Zuid Nieuw Guinea van L.M.P. Plate, 15 Oktober 1915, Reel No. 38, MvO Serie 1e, hal. 3.

BOVEN DIGUL: KOTA PEMERINTAHAN DAN KAMP INTERNIR PADA MASA KOLONIAL

Leave a comment